Ada istilah khusus penyebutan bagi orang yang mewakafkan harta disebut wakif. Sebagai orang yang merelakan hartanya untuk diwakafkan tentunya sebagai amalan melaksanakan perintah agama. Apalagi hukum mewakafkan harta adalah sunnah.

Kendali demikian, sebenarnya untuk bisa berwakaf pada era ini sungguh sangat mudah dilakukan. Berbeda dengan pandangan masa lalu yang mengharuskan memiliki harta dalam jumlah yang besar.

Bahkan dengan hukum wakaf adalah sunnah, Anda bisa mewakafkan harta tersebut. Anda bisa melakukan kegiatan berwakaf hanya dengan sedikit harta saja. Tidak harus dengan barang harta aset.

Entah aset tanah, bangunan, dan lain sebagainya. Melainkan bisa mewakafkan harta dengan memberikan sumbangsih dana pada kegiatan ekonomi tertentu. Meskipun pada akhirnya akan merujuk pada pembangunan bangunan fisik.

Syarat harta yang diwakafkan melalui donasi untuk kegiatan sosial berupa aset riil, namun dengan status diwakafkan. Tujuan akhir kegiatan ini adalah membangun kegiatan sosial melalui pihak yang bersedia sebagai pengelola.

Pengelola dana wakaf sebagai pengumpul dana wajib bertanggung jawab mengelola uang wakaf. Oleh karena itu, agar ada ikatan yang jelas terhadap dana wakaf dari orang yang mewakafkan harta dengan pengelola. 

Maka dari itu, apa yang dimaksud dengan wakaf ditujukan bangunan fisik yang dilegalkan oleh BWI (Badan Wakaf Indonesia). Agar nantinya bisa distatuskan sebagai aset atau barang wakaf dengan tujuan paten.

Legalisasi Wakaf Agar Tidak Dimanfaatkan Kepentingan

Sehingga tidak akan ada pihak lain yang mengakuisisi objek wakaf. Karena ini akan menutup kemungkinan objek wakaf kemudian diperjualbelikan oleh seorang nazhir yang bertugas mengelola aset wakaf.

Dalam mengatasi ini, pemerintah memiliki upaya melalui pembentukan perundang undangan. Diantaranya dengan dikeluarkannya Pasal 11 Undang Undang (UU) Nomor 41 tahun 2004 yang memuat aturan pengelolaan wakaf.

Seorang wakif sebagai pemberi wakaf tersebut secara formal akan menyerahkan pengelolaan objek wakaf pada nazhir. Aturan tersebut memuat bagaimana nazhir memiliki tugas dan wewenang serta hak dalam pengelolaan wakaf.

Adapun diantaranya ialah terkait pengelolaan legalitas administrasi benda atau objek wakaf dan pengelolaannya. Pada proses pengelolaan tersebut meliputi pengembangan, perlindungan, dan pengawasan berjalannya fungsional benda objek wakaf.

Mengenai tugas yang sudah dimaksudkan dalam Pasal 11 diperjelas lagi di Pasal 12. Pada pasal 12 dijelaskan bahwa imbalan yang dari hasil bersih atau laba yang diperoleh dari tanggung jawab pengelolaan.

Seorang nazhir berhak atas keuntungan yang berkaitan dengan pengelolaan benda objek wakaf. Namun besaran tersebut dibatasi dengan nilai maksimal sebanyak 10% dari hasil keuntungan laba. Terutama pada wakaf sektor produktif.

Karena pada pengelolaan objek wakaf bebas difungsikan sebagaimana mestinya oleh lembaga atau instansi terkait pengelola. Meskipun kebanyakan dari orang yang mewakafkan harta disebut wakif sudah memberikan pesan mandat fungsional wakaf.

Landasan Hukum Pencabutan Hak Pengelola Wakaf atau Nadzir

Karena jika tidak memenuhi persyaratan sebagai pengelola wakaf, maka hak seorang nazhir bisa dicabut. Entah karena pihak nazhir terkait sudah meninggal dunia atau badan organisasi sebagai pengelola telah tidak ada.

Maka, kemudian bisa dipindahkan ke pihak lain. Namun status objek wakaf tetap sebagai wakaf tidak bisa kemudian diperjualbelikan. Wakaf merupakan harta yang sudah secara sukarela diberikan, tidak bisa ditarik kembali.

Meskipun pada praktiknya, banyak sekali konflik internal keluarga dari orang yang mewakafkan harta. Kebanyakan kasus konflik didasari atas pemberi wakaf tidak mengkomunikasikan harta yang akan diwakafkan pada keluarga.

Syarat benda yang boleh diwakafkan berupa uang, surat berharga, logam mulia, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan harta bergerak lainnya. Asalkan memenuhi ketentuan syariah sesuai perundang undangan sesuai UU No. 41 tahun 2004.

Pada peraturan tersebut juga dijelaskan bahwa harta yang sudah diwakafkan tidak bisa dijadikan jaminan. Entah bagi pengelola wakaf atau nadzir yang diberikan mandat oleh orang yang mewakafkan harta disebut wakif.

Bahkan tidak bisa disita oleh pihak manapun jika terjadi konflik. Apalagi untuk diperjualbelikan atau diwariskan. Karena sepenuhnya barang wakaf dari orang yang ditunjuk untuk mewakafkan harta tidak ada hak kepemilikan.

Jika saja ada sebuah kejadian yang berkaitan dengan tanah wakaf, misalnya ada proyek yang berkiatan dengan pembangunan bandara. Atau pembangunan tertentu dari pihak lain yang mengharuskan bersinggungan dengan benda wakaf. Maka, wajib digantikan dengan nilai benda wakaf yang senilai di lain tempat. Namun statusnya tetap saja tidak berubah dari barang wakaf yang diberikan orang yang mewakafkan harta disebut wakif.


Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah.