Mengenai apa yang dimaksud dengan wakaf sebagaimana bentuk sumber pendanaan guna tujuan sosial sebagai wujud solidaritas umat dalam membangun perekonomian produktif. Sifatnya yang mudah dan sukarela menjadikan wakaf semakin dikenal.

Banyak orang berbondong bondong memberikan sumbangsih wakaf dengan tujuan membantu sesama umat agar lebih berdaya. Secara konseptual wakaf berbeda dengan shodaqoh, zakat, maupun infaq.

Hal ini mengacu pada tujuan dan legalitas objek wakaf. Pada kegiatan wakaf ditujukan pada objek rill berupa aset yang bisa dilegalkan sebagai benda wakaf. Sehingga proses pengelolaan dan kepemilikan berbeda.

Pada kegiatan shodaqoh, zakat, maupun infaq bantuan sosial diberikan pada yang berhak dan bebas dipergunakan. Meskipun tidak boleh diperjualbelikan juga, namun tujuannya berbeda, yakni untuk pembangunan tempat peribadatan atau ekonomi.

Oleh karena itu, wakaf akan membantu masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan wakaf agar lebih produktif. Misalnya, jika ditujukan untuk membangun sekolah atau pun kegiatan produktif lainnya.

Nazhir yang bertugas sebagai pengelola wakaf wajib mengembangkan objek wakaf guna memperoleh keuntungan laba. Keuntungan laba kemudian diperuntukkan untuk mengembangkan objek wakaf maupun kegiatan sosial.

Sifat dan hukum wakaf adalah sunnah menyebabkan semakin banyak masyarakat secara sukarela memberikan kontribusi. Apalagi sekarang, banyak sekali lembaga atau instansi sosial yang bergerak untuk mempopulerkan wakaf bertindak sebagai nazhir.

Peraturan Perundangan Tentang Wakaf Uang

Kemudahan berwakaf dengan syarat harta yang diwakafkan berupa uang saja sudah bisa. Asalkan sesuai dengan ketentuan yang diatur pada Undang Undang (UU) Nomor. 41 tahun 2004.

Aturan pemerintah ini berisi mengenai apa yang dimaksud dengan wakaf dan lembaga atau instansi terkait yang berhak mengelola sebagai nazhir. Tidak hanya itu saja, masih ada peraturan tambahan lain.

Diantaranya memuat berisi tentang syarat benda yang boleh diwakafkan dan tujuan dari wakaf. Diantaranya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2006 yang menyatakan uang bisa menjadi salah satu benda wakaf.

Sedangkan UU No. 41 tahun 2004 Pasal 1 Ayat 1 menyebutkan bahwa perbuatan dan hukum dari wakif. Wakif secara sukarela menyerahkan atau memisahkan hartanya sebagian dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu.

Tentunya ditujukan untuk kegiatan yang mengacu pada kesejahteraan umum dan bersifat syariah. Sehingga dalam proses pengelolaannya harus memperhatikan syariat Islam agar memperoleh tujuan dan makna dari berwakaf.

Mengenai apa yang dimaksud dengan wakaf sudah jelas diatur di berbagai peraturan yang ada. Mengenai objek yang dimaksudkan juga diperjelas, bahwa berupa benda tidak bergerak maupun bergerak.

Meskipun masyarakat awam masih memandang apabila berwakaf harus mengacu pada benda tidak bergerak. Namun nyatanya berwakaf dengan uang sekarang bisa dilakukan. Tentunya harus menggunakan uang tunai berupa rupiah.

Nazhir Sebagai Pengelola Harus Secara Resmi Terdaftar

Lembaga yang menerima wakaf pun harus terdaftar sebagai nazhir yang diutus oleh wakif tercatat di LKS-PWU (Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang). Lembaga ini ditunjuk secara resmi oleh Menteri Agama.

Proses penunjukkan ini tentunya juga harus direkomendasikan oleh lembaga yang paling berwenang, yakni BWI (Badan Wakaf Indonesia). Melalui surat terbitan yang dikeluarkan LKS-PWU kemudian digunakan untuk nazhir sebagai landasan hukum.

Nazhir kemudian memiliki hak legal sebagai pengelola wakaf. Kemudian berhak atas 10% keuntungan laba pengelolaan diperuntukkan untuk pribadi sebagai bea jasa operasional. Sedangkan 90% sisanya digunakan untuk keperluan objek wakaf.

Atau bisa juga dimungkinkan dipergunakan untuk kegiatan sosial. Karena pada dasarnya tujuan dari wakaf adalah untuk membantu sosial ekonomi umat. Wakaf itu sendiri bisa dilakukan secara perseorangan, kelompok, maupun lembaga.

Orang yang mewakafkan harta disebut sebagai wakif kemudian tidak memiliki hak milik lagi. Begitu pula dengan keluarga yang bersangkutan. Karena sudah dipindah tangan sebagai benda atau objek wakaf.

Hal ini kemudian yang harus paling disadari oleh banyak pihak yang bersangkutan. Bahkan, keluarga bersangkutan yang biasanya bersengketa, karena merasa tidak dilibatkan. Maka dari itu, sangat penting bagi wakif mengkomunikasikan.

Wakif harus mengkomunikasikan kegiatan ibadah berwakaf pada pihak keluarga juga. Sebabnya secara kekeluargaan, meskipun statusnya sudah meninggal. Sebelum itu harus ada pembicaraan terhadap keluarga bersangkutan.

Banyak sekali kasus terkait warisan yang kemudian tidak bisa dibagikan. Karena ternyata statusnya sudah diwakafkan. Namun pihak keluarga tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan wakaf dan status harta telah diwakafkan.


Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah.