Ulasan Lengkap

Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa antara Anda dengan istri Anda tidak terdapat perjanjian perkawinan yang memisahkan harta Anda dan istri.

Novasi

Persetujuan istri Anda untuk melunasi utang orang tuanya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), dikenal sebagai salah satu bentuk novasi atau pembaruan utang yang diatur dalam Pasal 1413 KUH Perdata yang berbunyi:

Ada tiga macam jalan untuk pembaruan utang:
  1. Bila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru untuk kepentingan kreditur yang menggantikan utang lama, yang dihapuskan karenanya;
  2. Bila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama, yang oleh kreditur dibebaskan dari perikatannya;
  3. Bila sebagai akibat suatu persetujuan baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, yang terhadapnya debitur dibebaskan dari perikatannya.

Terkait pertanyaan Anda, istri Anda menyetujui untuk ditunjuk sebagai debitur baru untuk menggantikan mertua Anda, dan si kreditur membebaskan mertua Anda dari perikatannya.

Menurut I Ketut Oka Setiawan dalam buku Hukum Perikatan (hal. 146), meskipun pada Pasal 1415 KUH Perdata ditegaskan bahwa novasi harus dinyatakan secara tegas, yaitu dengan akta.

Namun, ketentuan ini tidak bersifat memaksa karena berdasarkan Pasal 1416 KUH Perdata dalam novasi subjektif pasif (novasi dengan penunjukan debitur baru untuk mengganti yang lama), dapat dilakukan tanpa bantuan dari debitur lama, sehingga dapat disimpulkan bahwa akta dalam hal ini tidak diperlukan (hal. 146). Dengan demikian, berarti telah terjadi novasi perikatan yang awalnya antara mertua Anda dengan kreditur, kini menjadi istri Anda sebagai debitur baru dengan kreditur.

Hutang Istri Secara Pribadi


Subekti dalam buku Pokok-pokok Hukum Perdata (hal. 34) menyatakan bahwa mengenai utang dalam perkawinan dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu utang pribadi (utang prive) dan utang persatuan (utang gemeenschap) atau suatu utang untuk keperluan bersama.

Diterangkan juga bahwa untuk suatu utang pribadi yang dituntut untuk membayar adalah suami atau istri yang membuat utang tersebut, sedangkan yang harus disita pertama-tama adalah benda prive (benda pribadi).

Apabila tidak terdapat benda pribadi atau ada tetapi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, maka dapatlah harta bersama disita juga. Akan tetapi, jika suami yang membuat utang, benda pribadi istri tidak dapat disita, dan begitu pula sebaliknya jika ada hutang istri.

Namun, perlu diperhatikan bahwa utang pribadi yang bisa dimintai pelunasannya dari harta bersama adalah utang pribadi yang berasal dari perjanjian utang piutang dengan persetujuan pasangan.

Hal ini adalah konsekuensi yang logis dari prinsip dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang menyatakan bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak hanya atas persetujuan kedua belah pihak.

Hal ini juga ditegaskan oleh Agus Triyanta, perwakilan Pusat Studi Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang menegaskan bahwa utang yang Anda tanyakan adalah hutang istri, karena novasi dilakukan tanpa sepengetahuan suami dan tanpa kesepakatan bersama.

Maka, menurut Agus Triyanta, suami tidak harus bertanggung jawab atas pelunasan utang istri yang Anda tanyakan.

Karena utang istri Anda yang berasal dari novasi sebagaimana kami jelaskan di atas adalah hutang pribadi yang dibuat tanpa persetujuan Anda, maka pelunasan utang tersebut tidak dapat diambil dari harta bersama maupun harta pribadi Anda. Jadi apakah hutang istri menjadi tanggung jawab suami? Tidak, jika jenis hutangnya adalah hutang pribadi.

Baca juga: Ketahui, Inilah Cara Membuat Surat Pernyataan Hutang Piutang

Ahli Waris Sebagai Pewaris Hutang Istri

Apakah hutang istri menjadi tanggung jawab suami bisa menjadi hal yang diperdebatkan apabila istri sudah meninggal. Oleh karena istri Anda telah meninggal dunia, maka kami akan menguraikan pula status utang tersebut sebagai perihal yang diwariskan kepada para ahli warisnya.

Jika merujuk pada ketentuan waris dalam KUH Perdata, berdasarkan ketentuan Pasal 1100 KUH Perdata, para ahli waris yang telah bersedia menerima warisan, harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu.

Jika berdasarkan hukum Islam, maka patut diperhatikan Pasal 175 ayat (2) Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), yang menerangkan bahwa tanggung jawab ahli waris terhadap utang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.

Sehingga, dengan meninggalnya istri Anda, ahli waris dari harta peninggalan istri Anda bertanggung jawab untuk melunasi utang yang ditinggalkan istri Anda.

Sayangnya, kami tidak mengetahui secara spesifik siapa saja ahli waris dari istri Anda. Namun, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 852 – Pasal 861 KUH Perdata, setidak-tidaknya jika memenuhi ketentuan, Anda sebagai duda yang ditinggalkan dan mertua Anda sebagai orang tua istri dapat menjadi ahli waris.

Begitupun berdasarkan hukum Islam, karena Pasal 174 KHI menyatakan bahwa setidak-tidaknya, orang tua dan duda yang ditinggalkan adalah termasuk ahli waris dari istri Anda.

Maka, hutang istri Anda kini pelunasannya dibebankan kepada para ahli warisnya.

Seluruh informasi hukum yang ada di blog ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan advokat berpengalaman dengan klik Chat Sekarang di bawah artikel ini.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

Konsultasikan Permasalahan Hutang Piutang

Hutang adalah tanggungan yang harus dibayarkan bahkan bisa dibawa hingga mati. Untuk itu, Justika siap membantu permasalahan atau kebingungan Anda yang berkaitan dengan hutang piutang melalui tiga layanan ini:

Layanan Konsultasi Chat

Konsultasi hukum kini lebih mudah dan terjangkau menggunakan layanan konsultasi chat dari Justika. Kunjungi laman ini dan ketik permasalahan hukum yang ingin ditanyakan pada kolom chat. Selanjutnya Anda bisa melakukan pembayaran sesuai dengan instruksi. Tunggu sesaat dan sistem akan segera mencarikan konsultan hukum yang sesuai dengan permasalahan Anda.

Layanan Konsultasi via Telepon

Apabila fitur chat tidak mengakomodir kebutuhan, Anda bisa memanfaatkan layanan konsultasi via telepon dari Justika. Dengan layanan ini, Anda bisa mengobrol dengan Mitra Konsultan Hukum dengan lebih mudah dan efektif melalui telepon selama 30 atau 60 menit (sesuai pilihan Anda), untuk berdiskusi lebih detail mengenai permasalahan hukum yang dialami.

Layanan Konsultasi Tatap Muka

Ingin berdiskusi lebih lanjut? Tenang, Anda juga dapat berkonsultasi secara langsung dengan para Mitra Advokat Justika secara lebih leluasa lewat layanan Konsultasi Tatap Muka. Adapun lama diskusi sekitar 2 jam (dapat lebih apabila Mitra Advokat bersedia). Selama pertemuan, Anda dapat bercerita, mengajukan pertanyaan secara lebih bebas dan mendalam, termasuk menunjukan dokumen-dokumen yang relevan.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  3. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam

Referensi:

  1. I Ketut Oka Setiawan. Hukum Perikatan. Jakarta: Sinar Grafika, 2015;
  2. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Bandung: PT Intermasa, 2011.

Catatan:
Kami telah melakukan wawancara dengan Agus Triyanta via WhatsApp pada 18 September 2020, pukul 15.09 WIB.