Objek praperadilan merupakan seseorang yang dinyatakan bersalah dan sah apabila dilakukan penangkapan dan penahanan. Hal ini juga sudah dijelaskan di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tepatnya pada pasal 77. 

Sebenarnya pada tanggal 28 April 2021 Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian KUHAP pada pasal 77 mengenai objek pada praperadilan. Objek pada praperadilan ternyata juga termasuk tersangka untuk penyitaan dan penggeledahan. 

Objek Praperadilan yang Diperluas MK 

Mengadakan pengujian tersebut berarti MK telah memperluas pengertian dari objek pada praperadilan. Hal tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan pada peraturan di halaman 104. Hal tersebut juga mengacu pada KUHAP yang berlaku di tahun 1981. 

Pada tahun 1981 pengertian dari objek praperadilan sendiri hanya menyangkut penuntutan, penyidikan, penahanan dan penangkapan. Akan tetapi MK berkata bahwa pada zaman sekarang sudah mengalami perluasan makna. 

Objek pada praperadilan termasuk ke penetapan seorang tersangka yang dilakukan oleh penyidik. Pemberian label menjadi tersangka yang dilakukan penegak hukum juga tidak ada batas waktunya. 

Seseorang yang telah dinyatakan menjadi seorang tersangka tidak mendapatkan kesempatan untuk menguji legalitas dan mengapa tujuan penetapan tersebut dilakukan. Hal tersebut memang tidak mengenakan bagi hakim. 

Pernah ada kasus seorang hakim didemo oleh teman-teman satu fakultasnya yakni dari Universitas Andalas karena menetapkan seorang tersangka. Padahal penetapan tersangka tersebut sudah jelas pada pasal 77 KUHAP. 

Objek Praperadilan Dilihat dari Sisi Formalitas MK 

Penetapan tersangka yang termasuk dalam objek pada praperadilan tersebut sebenarnya dimasukkan ke dalam UU. Apabila dilihat dari sisi formalitasnya, MK merupakan lembaga yang bertugas untuk membatalkan UU. MK disebut sebagai lembaga yang negative legislature. 

Sedangkan yang bertugas sebagai pembuat UU adalah Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden bersama DPR disebut sebagai positive legislature. Oleh karena itu pembahasan mengenai objek praperadilan sudah seharusnya tertulis di dalam UU. 

Akan tetapi Mahkamah Konstitusi juga tidak selamanya memerankan peran sebagai negative legislature, dalam keadaan darurat bisa mengambil peran seperti DPR. Kondisi darurat artinya bahwa memungkinkan DPR dan Presiden tidak bisa membuat peraturan terbaru. 

Contohnya adalah saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai Pemilu. Saat itu ada calon pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih dan MK membuat putusan mengenai WNI yang tidak terdaftar bisa menunjukkan paspor atau KTP-nya, hal itu sebagai objek praperadilan.

Saat itu Presiden tidak bisa mengeluarkan peraturan baru jadi MK yang mengeluarkan peraturan tersebut karena dalam kondisi darurat. Sama halnya dengan putusan praperadilan mengenai praperadilan yang semua peraturannya seharusnya dibuat oleh Presiden dan DPR.

Apabila Dilihat dari Sisi Substansi MK 

Mengenai putusan MK di atas juga dapat dilihat dari sisi substansinya. Ada dampak positif dan negatif mengenai peraturan baru tersebut. Pertama adalah peraturan MK bisa membuat pencari keadilan mendapatkan keadilan. Contohnya adalah tersangka yang terkatung-katung.

Artinya seseorang ini tidak juga cepat diadili padahal sudah diberi label sebagai tersangka. Belum muncul juga sidang praperadilan mengenai bagaimana nasib dari tersangka ini. Adanya peraturan MK ini para pencari keadilan bisa mengadukan apa yang terjadi.

Label tersangka memang tidak hanya berpengaruh terhadap hukum saja, akan tetapi juga berdampak pada kondisi psikologis dan sosial tersangka. Contohnya adalah tersangka ini dicopot dari jabatannya akan tetapi permasalahannya tidak juga diselesaikan. 

Selama masih menjadi tersangka, kondisi keluarganya juga terancam dihina, dikucilkan oleh masyarakat. Selain itu masalah psikologisnya juga akan terganggu sebagai objek praperadilan apalagi jika orang tersebut tidak tahu apa-apa.

Kedua adalah penegak hukum dapat lebih berhati-hati untuk menetapkan orang yang menjadi tersangka. Karena tidak sedikit juga penegak hukum menggunakan jabatannya tidak sesuai dengan aturan. 

Adanya Revisi UU Terkait Putusan MK 

Terkait peraturan praperadilan adalah adanya revisi mengenai pemberian batasan seseorang dijadikan objek pada praperadilan atau tidak. Pembatasan bisa berupa pemberian waktu yang dinyatakan sebagai tersangka. 

Misalnya selama 3 bulan sudah ditetapkan sebagai tersangka akan tetapi jika berkasnya juga tidak kunjung selesai diselidiki maka boleh dibawa ke pranata praperadilan. 

Selain terkait objek sidang, persetujuan peraturan baru yang ditetapkan MK harus disetujui oleh setidaknya 6 atau tujuh hakim. Karena sebelumnya hanya disetujui oleh 5 orang hakim saja. 

Penting kiranya untuk memperhatikan bagaimana penegak hukum bekerja apakah sudah sesuai dengan peraturan atau tidak. Mengenai objek untuk praperadilan juga sudah ditetapkan dalam peraturan MK.

Meskipun MK bertindak sebagai pembatal UU bukan pembuat UU, akan tetapi bisa dilakukan jika kondisi darurat. Jika ingin mengadakan praperadilan maka Anda harus membuat contoh gugatan praperadilan terlebih dahulu.Itu dia penjelasan sedikit tentang objek yang ada dalam siding di Indonesia. Mengetahui objek praperadilan dalam sidang memang harus dipelajari lebih lengkap untuk mengetahui apa saja objek yang ada dalam persidangan.


Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah.