Perlu diketahui terlebih dulu mengenai penyitaan dalam KUHP mulai dari aturan hingga proses dilakukannya penyitaan melalui artikel ini.

Penyitaan Dalam KUHP

Ketika terjadi perbuatan tindak pidana, maka kepolisian memiliki hak untuk melakukan penyitaan. Penyitaan tersebut dilakukan pada benda yang dikuasai oleh terduga pelaku. Dalam melakukan penyitaan tersebut juga ada beberapa syarat penyitaan dan aturannya.

Menurut Pasal 1 nomor 16 KUHAP, penyitaan dalam kuhp merupakan tindakan penyidik dalam mengambil alih atau menyimpan barang di bawah penguasaannya benda tidak bergerak atau benda bergerak, tidak berwujud atau berwujud guna kepentingan pembuktian dalam penuntutan, penyidikan, dan peradilan.

Benda Apa yang Bisa Dilakukan Penyitaan Dalam KUHP?

Tidak semua benda bisa dijadikan barang sitaan, berdasarkan Pasal 39 KUHP ayat 1 ada beberapa benda yang bisa dikenakan sebagai barang sitaan yaitu:

  1. Benda yang memiliki hubungan langsung dengan tindak pidana.
  2. Benda yang secara khusus dibuat atau digunakan untuk melakukan tindak pidana.
  3. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindakan pidana.
  4. Benda yang langsung digunakan dalam tindak pidana
  5. Tagihan atau benda tersangka yang sebagian atau seluruhnya diduga didapatkan dari tindak pidana atau sebagian dari tindak pidana yang dilakukan.

Perlu diketahui bahwa barang bukti yang dilakukan penyitaan dalam kuhp tersebut nantinya akan dikembalikan jika sudah tidak dibutuhkan lagi. Dalam peradilan juga berkembang prosedur pinjam pakai barang bukti. Dasar hukum pinjam pakai barang bukti ini dilakukan atas dasar pemenuhan hak korban agar bisa segera dikuasai atau menggunakan barang miliknya yang hilang.

Tentunya peminjaman barang bukti tersebut dilakukan melalui permohonan pinjam pakai dengan prosedur peminjaman barang bukti penyitaan dalam kuhp sesuai dengan Pasal 23 ayat 2 Nomor 10 Tahun 2010 Perkapolri.

Bagaimana Proses Dilakukan Penyitaan?

Dalam melakukan penyitaan, polisi harus mengikuti aturan yang berlaku seperti:

  1. Sebuah penyitaan hanya bisa dilakukan ketika penyidik mendapatkan surat izin dari ketua Pengadilan Negeri setempat. Sedangkan untuk benda bergerak izinnya akan dilakukan oleh ketua sesuai dengan locus delictinya. Untuk benda tetap, yang memberikan adalah ketua Pengadilan Negeri.
  2. Penyidik wajib memberikan atau menunjukkan tanda pengenal
  3. Penyidik juga menunjukkan surat perintah penyitaan atas benda tersebut.
  4. Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita pada orang yang mana benda tersebut akan disita atau keluarganya disertai keterangan mengenai benda yang akan disita.
  5. Membuat berita acara penyitaan
  6. Menyampaikan turunan berita acara penyitaan
  7. Membungkus benda sitaan

Apakah Polisi Harus Meminta Persetujuan Saat Melakukan Penyitaan?

Polisi memang membutuhkan barang bukti yang merupakan hasil atau barang yang digunakan terduga pelaku dalam proses tindak pidana. Barang bukti tersebut akan digunakan sebagai bahan bukti untuk dalam proses penyidikan. Sehingga bisa digunakan sebagai pemberat pelaku.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah polisi harus meminta persetujuan saat melakukan penyitaan? Dalam hal ini polisi harus meminta persetujuan dari Pengadilan Negeri setempat.

Jika berdasarkan Pasal 1 angka 16 KUHAP dimana penyitaan merupakan tindakan pengambilalihan barang guna pembuktian. Bisa dikatakan bahwa penyitaan tersebut sebagai tindakan memaksa untuk pengambilan barang yang terduga sebagai barang bukti. Sehingga tidak dikatakan bahwa polisi perlu meminta izin penyitaan pada korban.

Demikian adalah beberapa hal terkait penyitaan dalam KUHP.


Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah.